Sabtu, 05 Juni 2010

MANUSIA, MORAL, NILAI DAN HUKUM

TAJEN (SABUNG AYAM) DI BALI

Pengertian Tajen
Sabung Ayam atau dalam bahasa bali disebut Tajen, yang berasal dari kata taji yang artinya benda tajam dan telah berkembang cukup mengakar di dalam kehidupan masyarakat Bali, jika dilihat dari berbagai sisi dapat menjelaskan atau memberikan perspektif yang positif.
Tajen merupakan sebuah tradisi judi sabung ayam di Bali yang dilakukan dengan memasangkan taji, yaitu sebuah pisau kecil yang dipasangkan di kaki dua ayam jantan yang diadu sebagai senjata untuk membunuh lawannya. Tajen biasa dilakukan di pura-pura, arena sabung ayam atau bahkan tempat-tempat wisata yang memang menyediakan arena sabung ayam dan tajen sebagai obyek wisata.
Tajen merupakan sebuah ritual dalam rangkaian upacara keagamaan, lazim disebut ”tabuh rah”, akan tetapi “Tabuh rah” tidak sama dengan tajen. “Tabuh rah” adalah bagian dari upacara agama khususnya dalam upacara pacaruan. Tajen adalah adu ayam bertujuan judi dan pertaruhan.

Tajen Dilihat Dari Ritual Keagamaan

Menurut sejarah, tajen sering dianggap sebagai sebuah proyeksi dari salah satu upacara yadnya di Bali yang bernama ”tabuh rah” atau ”prang sata”. ”Tabuh rah” merupakan sebuah upacara suci yang dilangsungkan sebagai kelengkapan saat upacara macaru atau bhuta yadnya yang dilakukan pada saat tilem. Tradisi ”tabuh rah” di Bali sering diselenggarakan dalam rangkaian upacara Butha Yadnya, yaitu upacara suci yang ditujukan untuk menyelaraskan unsur-unsur alam dengan kehidupan manusia. Upacara “tabuh rah” biasanya dilakukan dalam bentuk adu ayam, yang mana “tabuh rah” ini mempersyaratkan adanya darah yang menetes sebagai simbol / syarat menyucikan umat manusia dari ketamakan / keserakahan terhadap nilai-nilai materialistis dan duniawi.
”Tabuh rah” merupakan wujud persembahan kepada Bhuta Kala agar tidak mengganggu kelancaran upacara. Biasanya “tabuh rah” dilakukan dengan menyabung ayam jago, yang disimbulkan mewakili sifat-sifat manusia (angkuh,emosional,sombong), akan tetapi ayam jago yang diadu tidak sampai mati, hanya butuh meneteskan darah ke tanah tempat upacara berlangsung yang mana darah yang menetes ke bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahaya. Darah yang menetes ke tanah dianggap sebagai yadnya yang dipersembahkan kepada bhuta, lalu pada akhirnya binatang yang dijadikan yadnya tersebut dipercaya akan naik tingkat pada reinkarnasi selanjutnya untuk menjadi binatang lain dengan derajat lebih tinggi atau manusia.

Tajen Dilihat Dari Segi Etika & Kehidupan Sosial
Pertaruhan dalam tajen dianggap sebagai sesuatu yang tetap benar secara etika. Dimana konteks taruhan dan perjudian dalam tajen seolah-olah dianggap merupakan representasi nilai-nilai sosial, seperti gotong royong, saling menghormati, komunikasi sosial, simbol kesadaran kolektif dan yang terpenting tajen merupakan sarana untuk meningkatkan kualitas ekonomi baik secara individu, maupun kolektivitas mabanjar.
Walaupun diwarnai dengan taruhan uang, namun warga mengganggap ini kegiatan tersebut merupakan ritual “tabuh rah”, dan ritual dianggap sebagai tradisi untuk membayar janji kepada Bhatara dan Dewa yang bersemayam di Pura Hyang Api. Kegiatan ritual ini sekaligus digunkan untuk memohon kepada Bhatara agar hewan peliharaan warga selamat.



Tajen Dilihat Dari Segi Hukum
Dalam perkembangannya, ritual suci ”tabuh rah” mengalami pergeseran makna. Tajen, Seni pertarungan ayam yang seru dan mengasyikkan kemudian sering dijadikan ajang berjudi. Namun yang membedakan ”tabuh rah” dengan tajen adalah, dimana dalam tajen dua ayam jantan diadu oleh para bebotoh sampai mati, jarang sekali terjadi sapih (draw). Upacara ”tabuh rah” bersifat sakral sedangkan tajen adalah murni bentuk praktik perjudian. Kebenaran konteks pengertian pertaruhan dalam tajen tentunya masih dapat dilihat dan dikaji dari berbagai pandangan selain dari sudut pandang etika sosial masyarakat Bali dan hukum positif. Dalam kasus tajen adat dapat diindasikan sebagai suatu otoritas pembenar untuk sebagai argumen bahwa tajen dapat dibenarkan.
Sudah menjadi rahasia umum di Bali bahwa ada kemungkinan praktik judi dalam upacara ”tabuh rah” ini. Bahkan aparat kepolisian juga tidak menyangkal sering terjadi pelanggaran terhadap pasal 303 KUHP dalam suatu upacara tabuh rah atau tajen.
Kenyataan ini pula yang akhirnya menimbulkan kesan bahwa aparat kepolisian seolah - olah apriori terhadap setiap penyelenggaraan tajen. Di satu sisi jika tidak ditindak, praktik judi dalam upacara tabu rah atau tajen makin merajalela. Posisi aparat kepolisian dalam hal ini bisa disebut ”maju kena mundur kena”. Betapa tidak, kalau aparat melakukan penindakan, bisa kena protes masyarakat dan dinilai bersikap arogan. Padahal tugas aparat keposian adalah untuk penegakan hukum.
Hukum Indonesia tegas pula menyatakan judi sebagai tindak pidana. Namun, karena telanjur jadi bagian dari pranata sosial, ia sulit diberantas. Perjudian berlangsung sembunyi-sembunyi (ilegal), dan sering diselenggarakan atas persetujuan dan sepengetahuan fihak berwenang. Perjudian tidak cuma dipandang sebagai penyakit sosial. Ia pun tergolong tindak pidana menurut lima undang-undang (UU), termasuk di antaranya KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Masyarakat umum menganggap tindak judi sebagai tingkah laku asusila, karena dampak buruk yang ditimbulkannya. Selain merugikan diri sendiri, berjudi juga merugikan keluarga, karena segenap harta kekayaan, bahkan kadangkala juga anak dan istri habis dipertaruhkan di arena/meja judi. Juga, karena nafsu berjudi, orang berani menipu, mencuri, korupsi, merampok, dan membunuh orang lain untuk mendapatkan uang guna bermain judi.

Kelangsungan Tajen Saat Ini
Dalam kehidupan masyarakat di Bali, perjudian sabung ayam sudah dikenal dan cukup digemari sebagian masyarakat di beberapa daerah. Sejalan dengan dinamika kehidupan sosial masyarakat Bali, telah terjadi pergeseran makna ritual dan bagian “tabuh rah”, yang mana makna “tabuh rah” atau prang sata telah dimanipulasi dan diterminologikan sebagai Tajen. Padahal bila dikaji, “tabuh rah” dan tajen merupakan suatu pengertian yang berbeda, namun pada kenyataannya “tabuh rah” dipakai tameng untuk menyelenggarakan tajen.
Ironisnya tajen ternyata mampu berperan sebagai medium interaksi dan komunikasi lintas strata sosial. Latar belakang status sosial menjadi cair dan kabur, masyarakat membaur dan melebur secara fisik dan emosional, semua pihak terfokus pada pertarungan kedua ayam adu. Bahkan tajen oleh masyarakat juga sudah dipandang sebagai salah satu bentuk hiburan dan permainan utnuk menghilangkan kejemuan dan kelelahan fisik setelah melakukan kegiatan berat.
Pada dekade belakangan ini posisi dan peran tajen semakin mengemuka dan seolah-olah mendapat legitimasi dari berbagai kalangan masyarakat. Beberapa oknum masyarakat beragurmentasi bahwa tajen yang digelar semata-mata ditujukan untuk kepentingan pembangunan atau pengembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat adat. Dari perspektif antropologi hukum fenomena sosial ini merupakan proses dekriminalisasi tajen sebagai perjudian. Meskipun ditinjau dari sudut agama khususnya agama Hindu, didalam kitab suci Wedha tidak ada satu ayatpun yang membenarkan adanya berbagai bentuk dan jenis kegiatan perjudian.
Untuk mengembalikan ” citra sakral ” terhadap upacara tabu rah ini, tampaknya tidak ada jalan lain kecuali adanya kesadaran masyarakat sendiri agar tidak menjadikan ajang judi seperti taruhan uang dalam setiap prosesi tabu rah dengan kegiatan tajennya. Kesadaran ini sangat penting agar kesucian upacara tabuh rah tidak ternoda oleh hal-hal yang sebenarnya tidak masuk dalam bagian ucapan sakral itu.
Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar